Catatan Gunung Gede 2
“(Jangan) Tinggalkan Aku Di Puncak Gunung …”
By: Febry Mahimza (febry@majalahtrust.com)

Sore menjelang magrib. Rinai hujan memaksa kami untuk segera berkemas dan turun dari puncak Gunung Gede. Belum hilang rasanya lelah di badan setelah 2 hari lamanya mendaki gunung –yang bagi pendaki sejati dianggap sebagai tempat latihan dasar- ini. Bahkan, keindahan puncak Gunung Gede yang masih mengeluarkan asap belerang dari dasar kawahnya, rasanya juga belum menuntaskan rasa lelah itu. Dengan berat hati, kami harus menyudahi ekstasi yang sungguh tak terkira itu. “Kalau gak turun sekarang, ntar gak ketemu jalan turunnya,” ujar Bontel setengah berteriak untuk melawan hujan yang mulai turun.

Ya, baru beberapa tapak kaki ini melangkah, rinai itupun akhirnya berubah menjadi hujan yang teramat deras. Butiran-butiran air yang turun dari langit terasa begitu tajam. Dan sialnya, tak berapa lama kemudian, suara guntur yang memekakkan telinga diselingi kilatan petir nan menyilaukan mata turut menambah rasa mencekam di hati. Sesaat, gua masih sempat melirik jam: 17.55 WIB! Tapi, suasana di puncak Gunung Gede yang baru beberapa menit terlihat indah, langsung berubah gelap pekat.

Hujan ternyata membuat asap belerang dari kawah gunung terasa begitu pedih di mata. Jika kami tak berdekatan, sulit rasanya untuk bisa melihat teman seperjalanan. Boleh dibilang, posisi kawan hanya bisa diketahui jika ada kilatan petir yang menyambar bumi. Kondisi badan yang masih letih, ditambah hujan teramat lebat membuat sisa-sisa tenaga di tubuh terkuras habis.

Tim Mapala Trust yang terdiri dari: Andi Reza Rohadian, Febry Mahimza, Mohamad Hidayat, Budi Supriantoro, Ariyanto, Bonny Dwifriansyah dan Bogi Triadi tak bisa leluasa dalam menuruni punggung Gunung Gede untuk menuju sebuah lembah yang akrab disebut Surya Kencana. Berbekal ingatan Bontel yang lupa-lupa ingat, akhirnya kami menemukan track menuju Suryakencana. “Seharusnya sampai Suryakencana hanya butuh 20 menit!” ujar bontel dibelakang pundak gua. Padahal, saat melihat jam tangan, waktu perjalanan turun sudah lebih dari 2 jam. Dan kami belum jua sampai ke Suryakencana.

Badan yang letih ditambah belum ada asupan makanan sejak tiba di puncak gunung, membuat saya tak sadar berucap: “Udah lu jalan dulu deh. Gua udah capek banget nih. udah gak bisa jalan lagi. gua mau duduk istirahat dulu, entar gua susul,” itulah kalimat yang masih saya ingat sampai sekarang. Pikiran sudah melayang kemana-mana. Seolah tak sadar bawah kondisi hutan saat itu teramat gelap. Tak ada lagi suara-suara binatang hutan yang siangnya terdengar nyaring saling bersahutan. Pandangan mata pun pelan-pelan menjadi kabur. Tenaga benar-benar habis!

Untunglah Bontel yang berada persis di belakang gua gak ninggalin. “Kalo gua tinggal, lo entar mati kedinginan. Pokoknya harus jalan terus!” tuturnya. Terpaksalah dengan kaki terseret-seret, tak terhitung tersandung akar yang melintang di jalan serta ranting pohon yang membuat tangan dan pipi lecet, akhirnya terdengar juga suara-suara manusia di kejauhan. Sejumlah kelompok pendaki yang lebih dulu sampai di Suryakencana sangat beruntung. Mereka sempat mendirikan tenda sebelum hujan turun.

Kamipun langsung membangun 2 tenda. Sialnya, lantaran tidak memperhatikan kondisi sekitar, tenda yang kamibangun itu berada di aliran air. Terpaksalah kami tidur dengan kondisi badan hujan dan harus menanggung kedinginan yang teramat sangat. Kang Jaja sempat melihat termometer elektronik yang dibawanya. Bayangkan: malam itu, tatkala waktu menunjukkan pukul 9 malam, suhu hanya mencapai 2 derajat celcius!

Dengan kondisi badan kedinginan lantaran basah kuyup diterpa hujan, terpaksa kami: Ariyanto, Jaja dan Gua tidur merapat. Sementara Butor, Bontel, Daye dan Bogi saling mencari kehangatan di tenda sebelah. Dinginnya bukan main. Nyaris tak bisa tidur lantaran badan menggigil dan gigi gemeletuk. Pagi, jam 5 subuh, semburat fajar mulai menyinari bumi Suryakencana. Tapi, suhu masih 4 derajat celcius!

Perut langsung berteriak minta diisi. Maklum, semalaman tidur tanpa sempat memasukkan kalori ke badan. Kecuali sepiring mie kuah –yang panasnya sudah tak terasa lantaran kedinginan- yang mengganjal. Tapi apa daya, Daye sang komandan logistik masih terlelap dalam mimpi indahnya. Gua memutuskan untuk keluar dari tenda dan menikmati indahnya sinar matahari pagi berwarna kuning ke merahan yang menyeruak diantara pohon-pohon rindang.

Barulah aku sadari, betapa indahnya alam ciptaan Allah SWT ini. Suryakencana, boleh dibilang bak padang rumput nan luas di kelilingi oleh pohon-pohon cemara. Langsung teringat iklan rokok terkenal: “Welcome To Marlboro Country.” Sungguh, indah sekali pemandangan di lembah ini. Pikiran langsung menerawang pada saat kami menaiki gunung Gede dua malam sebelumnya. Ya, kami butuh waktu dua hari dua malam untuk mencapai puncak Gede.

Maklumlah, ada sebagian anggota tim pendaki Trust tak memiliki pengalaman secuilpun mendaki gunung, kecuali gunung kembar tentunya. Masing-masing personel memiliki pengalaman unik saat mendaki Gunung Gede. Bogi misalnya, si bayi sehat ini sempat terjerat oleh akar besar yang menggantung di ‘Tanjakan Setan’. Sebenarnya, Bontel sempat mengusulkan untuk mengambil jalan memutar. Tapi, anggota yang lain memutuskan untuk memanjat tanjakan yang tingginya sekitar 10 meter dengan kemiringan mencapai 90 derajat itu.

Bogi yang bertubuh agak bongsor dengan susah payah akhirnya bisa mencapai setengah dari tinggi tanjakan. Namun, entah mengapa, ia terbelit oleh akar yang menjadi tumpuan tangannya. Butuh waktu 10 menit lebih baginya untuk bisa mencapai puncak tanjakan. Sementara, hujan rintik-rintik membuat tanjakan semakin licin. Padahal, masih banyak anggota tim yang belum naik. Diantaranya: gua, kang Jaja, dan Butor. Sementara, Daye, dan ari sudah menunggu di atas tanjakan.

Bogi juga yang menghilangkan sabun kesayangan gua saat buang air di kali. “Gua buru-buru, abis ada suara cewek yang mendekat,” ujarnya beralasan. Peristiwa unik juga dialami Daye dan Butor saat buang air besar di lokasi Kandang batu. Soalnya, waktu si Danlog ini boker di pinggir semak-semak, ada serombongan pendaki yang melewati dirinya. Posisi daye yang persis di pinggir jalan membuatnya terlihat jelas oleh rombongan tersebut. dengan senyum-senyum menutupi malu, ia malah menyapa mereka, “Hai sorry ya, gua udah kebelet,” ujarnya cengengesan. Sementara Butor yang posisinya agak jauh dari lintasan pendakian, diam-diam aja.

Sakit perut yang gua tahan dari tadi langsung ilang berganti dengan derai tawa yang tak ada hentinya. Yang bikin gua tak habis pikir, kok bisa-bisanya si Bontel, Ariyanto, Jaja, Butor dan Daye tidak merasakan kelelahan. Sementara, bagi gua dan Bogi, bisa bernapas lempeng aja udah alhamdulilah. Begitupula saat menuruni punggung gunung untuk kembali ke titik penjemputan. Daye, Butor dan Bontel turun dengan setengah berlari. Bahkan daye dan butor seolah saling adu kecepatan untuk menjadi yang terdepan.

Kebun wortel, bayam dan kangkung segera membuat tenaga kami yang sudah habis menjadi segar kembali. Maklum, itu berarti sudah dekat dengan rumah penduduk. Saat melintasi kebun itu, kami berpapasan dengan belasan anak borju dari SMA Al Azhar yang ingin mendaki gunung Gede. Semangat mereka masih nyala membara. Dengan peralatan relatif lengkap dan modern, serta tampang lugu mereka bertanya, “Mas, posko satu masih jauh ya?” ujar seorang anak bertanya. Dalam hati gua, “Makan dah tuh gunung.”

Itulah sekelumit kisah pendakian pertama Tim Mapala TRUST ke Gunung Gede….. sebuah pengalaman yang tak akan terlupakan sampai kapanpun…

Bermula dari Gede
(Oleh: Bogi Triadi (gie_csg@yahoo.com)

Tanggal yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Ya, 15 Mei 2004, tujuh awak TRUST yang beranggotakan Andireza Rohadian (Jaja), Ariyanto (Ari), Bogi Triyadi (Bogi), Bonny Dwifriansyah (Bontel), Budi Supriyantoro (Butor), Febry Mahimza (Febry), dan Mohamad Hidayat (Daye), melakukan pendakian ke puncak Gunung Gede.

Inilah ekspedisi pertama awak Trust ke Gunung. Ide pendakian ini bermula dari obrolan Kang Jaja dengan Ari dan Daye. Mereka bertigalah yang nampaknya mengurus izin pendakian sepekan sebelum naik ke Gunung. Gue (Bogi) adalah orang terakhir kedua yang menyatakan ikut naik ke gunung dengan ketinggian 2.958 meter di atas permukaan laut. Setelah itu barulah Febri.


Sabtu dipilih sebagai hari pendakian karena hari itu kita baru terbebas dari tugas deadline. Maklum, kita bekerja di sebuah majalah Ekonomi dan Bisnis yang waktu kerjanya baru kelar Sabtu subuh. Sabtu jam 15.00 WIB di kantor, waktu itu masih beralamat di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sudah ada Daye, Kang Jaja, Bonny, Febry, Ari, dan Gue sendiri. Kita masih menunggu kedatangan Butor.

Daye pun coba menelpon. "Dimana Loe?," tanya Daye. Di Lebak Bulus Ye," bentar lagi sampe," jawab Butor.Akhirnya kita pun sepakat menunggu. Namun setelah satu jam menunggu, Butor belum juga datang. Daye pun menelpon lagi. "Dimana?," Daye kembali bertanya. "Bentar lagi, on the way nih," jelas Butor. Dan lagi-lagi kami harus menunggu. Sejam berselang, ternyata orang yang kerap mengenakan topi ini tak kunjung nongol juga batang hidungnya. Daye pun dengan rasa penasaran kembali menelpon. "Gue di rumah Ye ambil tenda, loe jemput gue di Gedung Trakindo," Butor menjawab telepon Daye.

Kontan kami yang sudah hampir 2,5 jam lebih menunggu dibuat Butor kesal. Ternyata dia mengantar anak dan istrinya dulu ke rumah saudara. Dengan perasaan "sedikit" gondok, akhirnya kami berenam plus Arief dan Devi, menjemput Butor di Gedung Trakindo. Di tengah perjalanan keributan kecil sempat terjadi. Bonny merengek-rengek karena tidak ada kamera yang dibawa. Maklum, anak ini adalah banci kamera.

Singkat cerita, Butor dijemput dan perjalanan dilanjutkan ke Gunung Gede. Sekitar satu jam sebelum sampai tujuan, kita mampir sebentar di studio foto untuk membeli kamera dan satu rol film. Kang Jaja "terpaksa" merogoh koceknya untuk memenuhi keinginan Bonny.

Sekitar pukul 11.00 WIB, kami sudah sampai di kaki Gunung Gede. Setelah menurunkan cariel, cuma Bogi dan Daye yang pakai tas ransel biasa, kami mampir ke warung makan sebentar untuk mengisi perut yang keroncongan. Nasi goreng, indomie, plus teh manis dipesan. Menunggu pesanan jadi, Febry dan Bogi membeli kupluk dan sarung tangan di warung sekitar.

Perut pun kenyang dan kami siap mendaki Gunung Gede. Sementara Devi dan Arif kembali ke Jakarta. Tak lupa kami berpesan kepada Arif untuk menjemput jam 11.00 WIB pada hari Senin di lokasi yang sama.

Baru memasuki pintu gerbang Gunung Gede, Ari sudah digoda oleh hal-hal mistis. Kata Ari kepada Daye dan Bogi usai turun dari Gunung Gede, dia melihat gadis-gadis sedang mandi di air terjun yang ada di sebelah kanan jalan. Namun saat itu dia tidak langsung bercerita ke anak-anak, takut membikin heboh nantinya.

Akhirnya kita sampai di pos utama. Sambil mengurus masalah izin pendakian, kami melihat-lihat foto-foto yang ada di pos utama. Ada foto tentang kecelakaan pendaki dan lain sebagainya. Selesai, kami pun mulai mendaki.
(bersambung)

galeri foto gunung gede 15-17 Mei 2004 (foto: dok jalan mendaki)



-daye_iblis@yahoo.com-

Gunung di Indonesia dan Puncak Tertinggi Dunia
JAWA: -*-Anjasmara (2.277 mdpl)-*- Argapura (3.088 mdpl)-*- Arjuno (3.339 mdpl) -*- Bromo (2.392 mdpl)-*- Bukit Tunggul (2.208 mdpl) -*- Ciremei (3.078 mdpl)-*- Cikuray (2.818 mdpl)-*- Galunggung (2.167 mdpl)-*- Gede (2.958 mdpl)-*- Guntur (2.249 mdpl)-*- Kembar I (3.052 mdpl)-*- Kembar II (3.126 mdpl)-*- Lawu (3.245 mdpl)-*- Semeru (3.676 mdpl)-*- Malabar (2.343 mdpl)-*- Masigit (2.078 mdpl) -*- Merapi (2.911 mdpl)-*- Merbabu (3.145 mdpl)-*- Pangrango (3.019 mdpl)-*- Papandayan (2.665 m)-*- Patuha (2.386 mdpl)-*- Penanggungan (1.653 mdpl)-*- Raung (3.332 mdpl), Salak (2.211 mdpl), Slamet (3.432 mdpl), Sumbing (3.336 mdpl)-*- Sundara (3.150 mdpl)-*- Tangkuban Perahu (2.084 mdpl)-*- Ungaran (2,050 mdpl)-*- Wayang (2.181 mdpl)-*- Welirang (3.156 mdpl)-*- Wilis (2.552 mdpl). SUMATRA:-*-Dempo (3159 mdpl)-*-Kerinci (3.805 mdpl)-*-Sibayak (2.212 mdpl)-*-Pesagi (2.262 mdpl)-*- Singgalang (2.877 mdpl)-*-Marapi (2,891.3 mdpl)-*-Tandikat (2438mdpl)-*-Leuser (3172 mdpl)-*- Perkison (2300 mdpl)-*- BALI: -*-Agung (3.142 mdpl), -*-NTB:-*-Rinjani (3.726 mdpl), NTT: Tambora (2.850 mdpl)-*- 14 PUNCAK GUNUNG TERTINGGI DUNIA: -*-Everest (8.848 mdpl)-*- K2 (8.611m)-*- Kangchenjunga (8.586) -*- Lhotse (8.516 mdpl)-*- Makalu (8.463 mdpl) -*- Dhaulagiri (8.167 mdpl) -*- Manaslu (8.091) -*- Cho Oyu (8.201 mdpl) -*- Nanga Parbat (8.125 mdpl) -*- Annapurna -*- (8.091 mdpl) -*- Gasherbrum I (8.068 mdpl) -*- BRoad Peak (8.047 mdpl) -*- Shisha Pangma (8.046 mdpl) -*- Gasherbrum II mdpl)-*-