Catatan Pendakian G. Semeru, November 2004
Kunang-Kunang di Semeru
(Oleh: Bonny Dwifriansyah)

Kebayoran Lama.
Malam itu, gue agak berteriak kegirangan setelah membaca berita di harian Kompas. Inti dari berita itu: gunung Semeru telah dibuka kembali untuk pendakian. Langsung saja gue kabarin berita itu ke Daye dan Kelik. “Woi, Semeru udah dibuka lagi neh. Berarti kita bisa dong naek ke sana?” kata gue waktu itu. Serta merta, Daye dan Kelik langsung mengecek berita yang gue maksud tadi. Tak berapa lama kemudian, mereka berdua kelihatan sumringah. “Akhirnya jadi juga kita naek ke Semeru,” kata Daye sambil tertawa.

Rencana awalnya, hanya kami bertiga—gue sendiri, Mohamad Hidayat, dan Kelik Prakosa--yang akan melakukan pendakian. Tapi, karena gue ingat ada seorang kawan—namanya Dony Tjiptonugroho, Redaktur Bahasa harian Media Indonesia--yang mau ikut bergabung, maka gue ajaklah dia. Dan akhirnya jadilah kami berempat Setelah melewati banyak diskusi, akhirnya kami berempat memutuskan berangkat ke Malang dengan menggunakan kereta api.

Menginjak hari H, dengan semua peralatan yang ada, kami pun berangkat ke Stasiun Kereta Api Senen. Karena datang terlalu awal, kami harus menunggu di peron selama dua jam. Iseng-iseng, TTS jadi pengisi waktu luang kami. Selama menunggu itu, gue lihat banyak sekali orang yang sama-sama menunggu kereta. Kebanyakan mereka adalah pemudik. Maklum, waktu itu masih libur panjang pasca-Lebaran. Di antara mereka, tampak juga beberapa rombongan pendaki dengan kerir-kerirnya yang besar. Tapi gue enggak tahu apakah mereka juga akan mendaki Gunung Semeru.

Ketika kereta yang kami tunggu-tunggu datang, dengan susah payah kami masuk ke dalam kereta dan mencari kursi kosong. Tapi sial, semua kursi sudah ada “penunggunya”. Malah, banyak juga penumpang yang terpaksa harus berdiri. Terpaksa deh kami mengganjal sebuah pintu kereta api dengan tas-tas kerir untuk kami jadikan sebagai “markas”. Akhirnya, lorong sempit di depan pintu kereta itu--yang seharusnya jadi tempat masuk para penumpang—menjelma menjadi “base camp” sementara kami.

Perjalanan dari Jakarta ke Stasiun Malang membutuhkan waktu sekitar 24 jam lebih. Sungguh perjalanan yang melelahkan dan sedikit menyebalkan karena keretanya sering berhenti. Untungnya, di dalam kereta, kami bertemu dan berkenalan dengan beberapa rombongan pendaki yang juga berniat mendaki G. Semeru.

Sampai di Stasiun Malang, kami mencarter sebuah angkot menuju Desa Tumpang. Desa Tumpang adalah tempat di mana tersedia jeep-jeep yang biasanya digunakan sebagai alat transportasi para pendaki menuju base camp G. Semeru. Pak Yono adalah orang yang mengelola semua jeep-jeep tadi. Dan, alamak, ternyata jeep yang kami tumpangi itu bisa dinaiki hingga 15 orang plus tas-tas keril yang lumayan besar-besar. Ondemande!

Berdasarkan pengalaman gue saat mendaki ke G. Semeru pada tahun 1999, perjalanan dari Desa Tumpang menuju base camp Gunung Semeru memakan waktu sekitar 3-4 jam dengan trek yang terus menanjak. Pohon-pohon Apel yang dahan-dahannya mencapai ke sisi jalan, hutan-hutan lebat, dan jurang di kanan kiri jalan, serta bukit-bukit yang berderet memanjang, seharusnya semua itu tersaji di sepanjang perjalanan menuju base camp. Sayangnya, saat kami berangkat menuju ke base camp, waktu sudah menunjukkan pukul 19.30 waktu setempat. Sehingga di kanan kiri kami yang tampak hanyalah kegelapan malam—meskipun dari kejauhan kami masih dapat melihat bentuk bukit-bukit yang diterangi sinar bulan. Benar saja, selang waktu 4 jam kemudian, sampailah kami di base camp. Base camp tempat kami harus melapor ini terletak di ketinggian 2.200 mdpl dan berada di antara rumah-rumah penduduk Desa Ranu Pane.

Pendakian Dimulai
Setelah bermalam dan mengurus semua pendaftaran pendakian, kami mulai start mendaki pada pukul 10 waktu setempat menuju Ranu Kumbolo yang jaraknya dari Desa Ranu Pane sekitar 13 Km. Di hari itu kami memang agak terlambat memulai pendakian. Cuaca yang terik menyergap kami selepas meninggalkan base camp. Untunglah setelah beberapa menit berjalan, kami memasuki hutan yang lumayan lebat.

Jalur menuju Ranu Kumbolo sebagian besar landai. Lereng bukitnya didominasi tetumbuhan alang-alang. Di jalur ini tidak ada tanda penunjuk arah jalan. Untungnya, di setiap beberapa ratus meter kami masih bisa melihat semacam tonggak yang terbuat dari semen berwarna putih. Tiap-tiap tonggak yang kami temui itu menginformasikan tentang ketinggian medan yang sedang kami lintasi.

Setelah sekitar 4 –5 jam berjalan, akhirnya sampailah kami di sebuah tikungan. Dan di balik tikungan itu kelihatan Ranu Kumbolo, danau yang dianggap sebagai maskotnya Gunung Semeru. Seperti yang sudah gue perkirakan, saat melihat danau itu, Daye berteriak: Allahuakbar… Allahuakbar… Allahuakbar…!!! Hehehe, asal tahu aja, si Daye ini sebelumnya adalah temen gue yang agak-agak sekuler. Saat melihat danau itulah gue pertama kali melihat Daye teriak Allahuakbar berkali-kali. Malah, saat itu juga di bilang, “Bon, Tuhan itu emang ada Bon…” Dalam hati gue bertanya, “ini anak emang beneran enggak percaya sama Tuhan atau saat itu cuma mengeluarkan ekspresinya barang sesaat. Tapi, sekarang, saat gue nulis cerita ini, gue tahu bahwa sebenarnya Daye itu enggak sekuler. Dia biasa aja kok. Enggak “merah” dan enggak “hijau” banget. Buktinya, gue sering banget ngeliat dia solat di kantor (meskipun rada-rada banyak bolongnya).

Balik lagi ke cerita. Tepat di balik tikungan tadi, kami bisa dengan jelas melihat keseluruhan bentuk danau lengkap dengan rumah pondokannya. Kami sempat bergeming, sambil mengatur napas yang tersengal-sengal setelah berlari-lari kecil mencapai ujung tikungan tadi. Subhanallah. Cuma satu kata itu yang bisa gue sebut terulang-ulang saat melihat danau itu. Lima menit kemudian, gue langsung turun menuju danau dan mencari tempat yang nyaman untuk mendirikan tenda. Setelah menemukan tanah yang datar, teduh, dan letaknya agak sedikit lebih tinggi dari permukaan danau, kami pun mulai mendirikan dua tenda kami. Daye tidur satu tenda dengan Kelik. Sedangkan gue satu tenda dengan Dony, senior gue waktu kuliah dulu.

Sebenarnya, di seberang danau tempat kami berkemah, ada rumah pondokan yang sengaja dibangun untuk para pendaki yang ingin bermalam di danau. Tapi, berdasarkan pengalaman pendakian gue ke Semeru di tahun 1999, pondok para pendaki itu biasanya ramai disesaki para pendaki. Karena itulah gue memutuskan lebih baik mendirikan tenda di seberang danau. Dan benar saja, ketika malam datang, dari seberang danau, kami lihat banyak lampu senter berkedip-kedip di sekitar pondok. Banyak sekali pendaki yang bermalam di pondok tadi.

Pagi harinya, sekitar pukul 6, saat gue bangun dan keluar dari tenda, gue lihat permukaan danau tampak seperti mengepulkan asap beku seperti asap yang keluar dari es balok. Gue menebak-nebak, pasti tuh air danau dingin banget. Gue lihat Dony tengah asyik menjepret ke sana-sini dengan kamera tele-nya. Dari jauh, dia memanggil gue dan meminta supaya gue mau jadi “korban” eksperimen foto-fotonya. Berkali-kali gue disuruh geser ke sana geser ke sini, jalan ke sana, jalan ke sini sambil bawa tripot.

Enggak terasa, tahu-tahu kami berdua sudah sampai ke sisi kiri danau yang jaraknya kira-kira 200 meteran dari tenda. Saat itu gue sadar bahwa pemandangan dari sisi kiri danau juga tidak kalah menakjubkan. Pagi itu, permukaan danau penuh dengan kilauan mutiara yang indah, sangat indah. Kilauan mutiara itu berasal dari pantulan sinar matahari yang berusaha menembus air. Enggak lama berselang, dari kejauhan, gue lihat Daye dan Kelik baru saja bangun. Kelihatannya mereka juga tidak mau melewatkan momen pagi hari itu. Kalau gue dan Dony hunting gambar dengan menyisiri pinggir kiri danau, Kelik sama Daye justru menyisiri sisi kanan danau.

Tanjakan Cinta
Siang menjelang sore, setelah selesai makan siang, mandi, dan ngepak-ngepak barang, kami mulai bergerak meninggalkan Ranu Kumbolo menuju Kalimati (2.700 m). Saat akan melewati pondokan, Daye sempat berhenti sebentar karena merasa jerigen berisi air bersih yang dibawanya terlalu membebaninya. Akhirnya gue menawarkan diri membawa jerigen berisi air itu. Kami sengaja membawa banyak air karena di sepanjang trek menuju Kalimati tidak ada air.

Beberapa langkah dari tepi Ranu Kumbolo, Tanjakan Cinta sudah menanti kami. Tanjakan ini kelihatannya pendek Tapi, untuk mendakinya, ampun deh, lumayan cape, karena nanjak teruuusss!!!! Konon, ada anggapan bahwa bila ada orang yang bisa sampai di akhir tanjakan tanpa menoleh ke belakang, maka semua permohonan orang itu akan terkabul. Tapi siapa yang tahan tidak menoleh ke belakang. Sebab, panorama yang tampak saat kami berada di tanjakan cinta sangat memikat. Dari atas tanjakan itu, danau Ranu Kumbolo terlihat sangat anggun dengan dikelilingi bukit-bukit hijau. Pondokan pendaki yang kami lewati tadi kelihatan seperti satu-satunya villa kecil penghias danau. Subhanallah.

Di ujung Tanjakan Cinta, sambil mengatur napas yang tersengal-sengal, Daye kelihatan senyam-senyum sendirian. Karena gue merasa heran melihat perangai Daye seperti itu, gue tanya aja ke Daye: “Kenapa lu senyum sendirian gitu Ye? Dengan bangganya dia bilang, “Bon, tadi waktu naek dari bawah ke sini, gue sama sekali enggak berhenti dan enggak nengok ke belakang. Berarti semua permohonan gue bakalan dikabulin hehehe.” Gue sedikit tertawa saat mendengar ucapannya tadi. Dan di dalam hati gue bertanya, “Emangnya lu percaya sama mitos kayak gituan?” Sayang si Daye enggak mau jawab saat gue tanya, “Emangnya waktu nanjak tadi elo mohon apaan Ye?”

Di balik Tanjakan Cinta tadi, hamparan padang rumput setinggi badan manusia siap menyambut. Daye dan Dony kelihatan takjub menyaksikan apa yang ada di depannya: savana luas terbentang, dikelilingi hutan cemara gunung. Padang rumput yang luas ini dikenal dengan sebutan Oro-oro Ombo. Gue dan Kelik--mungkin karena sebelumnya sudah pernah mendaki G. Semeru—kelihatan tidak terlalu heboh seperti Daye dan Dony. Kami berdua memang sudah tahu pemandangan apa yang akan tersaji setelah melewati Tanjakan Cinta. Dan karena waktu itu siang hari dan cuaca sangat terik, kami berempat memutuskan tidak menyusuri padang rumput itu, tapi kami berbelok ke kiri dan menyusuri jalan setapak di pinggir bukit.

Jalur setelah Oro-oro Ombo cukup bervariasi. Terkadang landai melewati tanah berdebu, lalu menanjak, sebelum akhirnya memasuki hutan cemara yang berpohon tinggi tapi berdaun jarang sehingga panas matahari tetap mengenai kulit. Perjalanan menuju Kalimati lumayan jauh. Di hutan ini, banyak pohon-pohon tua dan kering yang sewaktu-waktu bisa tumbang. Perjalanan menuju Kalimati ditempuh dalam waktu 4 jam dengan jarak tempuh sekitar 10 Km.

Kalimati
Setelah empat jam berjalan, kami tiba di pos Kalimati. Sebenarnya, pada saat hari terang, dari Kalimati ini, puncak Mahameru bisa terlihat dengan jelas. Bahkan guratan pasir yang memanjang di sekitar puncaknya juga bisa terlihat dengan jelas. Sayangnya, lantaran kami tiba di Pos Kalimati pukul 19.15, kami hanya bisa melihat jutaan bintang yang berserakan di langit. Dengan senter sebagai penerang, kami berempat berusaha mencari sebidang tanah yang bersih dari semak-semak untuk mendirikan tenda. Beruntung, kami berkenalan dengan rombongan pendaki yang juga berasal dari Jakarta. Mereka mempersilakan kami mendirikan tenda bersebelahan dengan tenda mereka. Bahkan, mereka bersedia menjaga tenda kami bila kami berempat meninggalkan tenda menuju puncak Semeru dinihari nanti. Setelah mendirikan tenda, memasak, dan makan malam, kami pun menyempatkan diri untuk tidur selama beberapa jam sebelum memulai pendakian menuju puncak dinihari nanti.

Pukul 2 dini hari kami memaksakan diri kami untuk melepaskan sleeping bag yang membalut tubuh. Rasanya kami saat itu masih sangat membutuhkan waktu beberapa jam lagi untuk tidur. Maklum, setelah lelah seharian berjalan, dan tidur mulai dari jam 10 malam hingga jam 2 dini hari, kami merasakan seluruh badan kami masih sakit dan pegal-pegal. Tapi, karena keadaan yang mengharuskan kami bangun sedini mungkin agar bisa mencapai puncak pada pagi hari, akhirnya kami paksakan bergerak ke luar tenda dan mempersiapkan diri menghadapi summit attack.

Arcopodo
Pukul 2.15 dini hari, dengan berbekal pakaian hangat, senter tangan, head lamp, masker, kacamata hitam, air minum dalam botol plastik, makanan ringan secukupnya, dan alat dokumentasi, kami pun bergerak menuju Puncak Semeru. Waktu tempuh Kalimati -Mahameru sekitar 5-6 jam dengan trek terus menanjak. Sebenarnya, berangkat dari Kalimati pukul dua dini hari bisa dikatakan agak-agak terlambat. Idealnya, para pendaki yang berangkat dari Kalimati harus mulai bergerak sekitar pukul 12 malam.

Untunglah saat itu bulan terang bersinar sehingga kami cukup terbantu saat melintasi jalur menuju Arcopodo yang curam dan rawan longsor. “Pos” Arcopodo di ketinggian 2.900 mdpl bisa kami lalui dengan mudah meskipun harus mengantre dengan rombongan pendaki lain. Arcopodo berada pada ketinggian 2.900 mdpl, dan merupakan batas vegetasi. Sehabis ini tidak ada lagi tumbuhan yang hidup. Yang ada hanya pasir dan bebatuan saja, kecuali satu pohon cemara yang disebut Cemoro Tunggal. Dinamakan Arcopodo karena dulu ada dua buah arca, yaitu Ganesha dan Dewa Wisnu. Namun sayang, arca-arca itu kini telah hilang.

Saat melintasi Pos Arcopodo, gue baru tahu bahwa jumlah pendaki yang bergerak menuju puncak Semeru sangat banyak. Maklum, saat itu masih masa-masa libur panjang pasca-hari Raya Idul Fitri. Selepas Arcopodo, kami sampai di batas hutan yang bernama daerah Kelik. Hehehe, namanya memang sama dengan salah satu temen gue yang juga ikut pendakian ini: Kelik Prakosa. Belakangan gue tahu bahwa nama “Kelik” diambil dari nama seorang pendaki yang tewas di daerah ini saat membuat jalur pendakian baru. Di daerah ini pula banyak terdapat batu peringatan korban yang meninggal di Mahameru.

Dari ketinggian di atas 2.900-an meter itu, tampak banyak sekali para pendaki lain yang berangkat lebih awal dan berada jauh di depan kami. Sungguh pemandangan yang tak pernah terbayangkan. Seolah-olah saat itu kami semua seperti iring-iringan cahaya kecil yang tengah bergerak ke atas menuju ke sebuah istana. Mereka yang berada jauh di depan kami kelihatan kecil tapi menyala bak kunang-kunang. Sementara dari atas sana, mereka pun pasti melihat kami seperti kunang-kunang yang pelan-pelan merayap ke atas.

Kami terus mendaki lereng Semeru yang berpasir dengan kemiringan 50-60 derajat. Pendakian menuju puncak benar-benar menguras fisik dan menjatuhkan mental. Oleh karena itu kami harus pintar-pintar memilih pijakan kaki supaya tidak terperosok ke dalam jurang. Di trek itu, setiap tiga langkah pasti merosot selangkah, bahkan bisa lebih. Malah, terkadang gue harus “merayap”, menggunakan kedua tangan agar bisa naik selangkah dua langkah ke atas. Apalagi, udara di ketinggian seperti ini semakin tipis, napas pun semakin tersengal-sengal. Gila! Ternyata bener juga kata orang-orang: “enggak gampang naek ke puncak Semeru. Cuma mereka yang bermental kuat saja yang bisa mencapai puncak.”

Ada satu hal yang sangat gue sesali saat itu: gue lupa bawa gugel alias kaca mata pelindung. Sebab, setiap angin kencang datang pasti disertai debu dan kerikil-kerikil. Dan gue terpaksa harus menutup muka rapat-rapat setiap kali angin kencang datang. Muka rasanya perih banget kalau kena “serangan” kerikil-kerikil tadi. Kapooooookkkkkkk.…!

Dan di saat gue mengutuk diri gue sendiri karena lupa bawa gugel, tiba-tiba terdengar teriakan dari arah atas: “Awas, batuuu…! Batuuuuu…! Terdengar juga teriakan Daye dan Dony yang saat itu berada kira-kira 10 meter di depan gue: “Batuuuu! Batuuu…!!! Bon, awas Bon!” (gue lupa di mana posisi Kelik). Gue mencoba mencari tahu apa yang mereka maksud dengan teriakan itu.. Ternyata sebuah batu gunung sebesar tenda doom meluncur dari atas dengan cepat. Seketika itu juga nyali gue ciut seciut-ciutnya. Yang terbayang dalam otak gue saat itu cuma satu: “mati konyol”. Spontan, gue langsung merapat ke batu cadas besar yang ada di samping untuk berlindung. Dan alhamdulillah, batu besar yang menggelinding dari atas tadi berbelok ke arah kiri (kira-kira jaraknya 7 meteran dari posisi gue) dan langsung meluncur cepat ke bawah. Ondemande!

Sempat juga gue menyaksikan seorang perempuan berjilbab nyaris tertimpa batu besar tadi. Perempuan berjilbab itu selamat dari maut karena sempat mendengar teriakan-teriakan dari atas. Pemandangan yang menurut gue sangat aneh dan hampir tidak masuk akal. Sebab, perempuan berjilbab tadi sebelumnya sedang duduk beristirahat dan posisi badannya menghadap ke bawah (sepertinya saat itu dia sedang menunggu seseorang). Dia masih sempat menggerakkan badannya ke kiri saat batu besar tadi melintas di sampingnya (menurut gue, jarak dia dengan batu besar tadi hanya beberapa sentimeter). Allahuakbar. Mungkin saat itu Allah belum mengirim malaikat mautnya kepada perempuan tadi. Seketika itu juga gue dan semua orang yang ada si situ langsung bengong, kaku, dan hanya bisa mengucapkan astagfirullah al aziim. Suwer, hingga tulisan ini gue bikin, gue masih penasaran tentang sosok perempuan tadi: siapa dia dan apa sedang apa dia waktu itu.

Beberapa saat setelah kejadian itu, dalam hati gue sempat berniat turun lagi ke bawah dan menunggu di tenda, biar Daye, Kelik, dan Dony aja yang sampe puncak. Tapi, karena gue sadar bahwa Mahameru sudah di ada depan mata dan gue enggak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini, langsung saja keinginan itu gue tepis jauh-jauh. Dalam hati, gue tekankan kepada diri gue sendiri bahwa gue harus bisa sampe puncak. Gila, masa sih sudah sejauh ini gue harus balik lagi? Apa kata orang-orang nanti? Apa kata temen2 di kantor nanti? Masa sih di pendakian yang kedua kali ini gue enggak bisa juga sampe puncak? Enak aja! Huh!

Mahameru
Pukul 9.15 waktu setempat, akhirnya gue tiba lebih dulu di Puncak Mahameru. Rasa haru langsung menyelimuti hati gue. Sejenak, gue merasa nggak percaya bahwa gue telah sampai di atap Pulau Jawa ini. Sebuah perjuangan yang teramat berat dan konyol. Ya, benar-benar konyol.

Beberapa saat kemudian, gue mundur ke belakang dan menengok ke bawah. Gue lihat Dony dengan tergopoh-gopoh berusaha menyusul gue. Dan pas Dony sampe di puncak, dia langsung bersujud di atas tanah pasir yang debunya beterbangan ke mana-mana karena tertiup angin. Tidak berapa lama sesudah Dony, Daye juga sampai di puncak. Di mana Kelik? Ternyata Kelik kelihatan tampak sangat kepayahan. Dia masih ada beberapa meter di bawah. Mungkin lima menit lagi dia baru bisa mencapai di puncak. Dan sambil menunggu Kelik, Dony mencoba mengambil beberapa kali gambar dengan kameranya. Selang beberapa menit kemudian, akhirnya Kelik sampai juga di puncak. Dia langsung mengambil posisi duduk sambil mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Kelihatannya dia sangat kelelahan. Mukanya tampak pucat. Mungkin itu karena dia kurang tidur tadi malam. Daye langsung mendekati Kelik. Dia menanyakan kondisi Kelik dan memastikan bahwa si Kelik baik-baik aja. Daye memang hebat. Di setiap pendakian, dia memang selalu menjadi “dokter” bagi kawan-kawan yang kepayahan. Bravo Daye!

Dari puncak, gue mencoba memperhatikan alam luas sekeliling. Yang tampak hanya arak-arakan awan putih yang menggumpal. Sulit sekali mendapatkan pemandangan yang bersih dari awan. Sebab, saat itu jam sudah menunjukkan pukul 9.30. padahal, kalau saja kami tiba di puncak pada pukul 6 atau 7 pagi, mungkin gunung-gunung yang ada di sekitar Gunung Semeru bisa terlihat dengan jelas seperti yang sering diceritakan orang-orang. Tapi, saat itu, bagi gue, bisa mencapai puncaknya saja adalah sebuah anugerah yang sangat besar. Sebab, sebelumnya, pada tahun 1999, gue gagal mencapai puncak karena terhalang badai. Jadi, pendakian ke Gunung Semeru yang kedua kalinya ini cukup menjawab rasa penasaran gue selama ini.

Suara letupan tiba-tiba terdengar diiringi gumpalan asap pekat bercampur debu. Para pendaki menyebut gumpalan awan itu dengan julukan Wedhus Gembel. Memang luar biasa. Wedhus Gembel itu sangat tebal dan pekat. Peristiwa itulah yang sedang kami tunggu-tunggu. Dengan cepat, kami pun mengabadikannya. Setelah puas mengambil gambar Wedhus Gembel, sebenarnya gue ingin sekali menyisiri dataran puncak sambil mencari tahu apa saja benda-benda yang ada di sana selain tugu Soe Hok Gie. Tapi sayang, waktu telah menunjukkan pukul 9.40, pertanda kami harus segera turun supaya terhindar dari bahaya maut gas beracun dan semburan material panas yang tertiup angin. Sebab, dari informasi yang kami dapat, biasanya pada pukul 10 ke atas, arah angin sudah menuju ke jalur para pendaki.

Selamat Tinggal Mahameru!
Jalur turun dari Mahameru menuju Arcopodo bisa ditempuh kurang dari satu jam. Bagi gue, turun dari puncak mahameru adalah suatu keasyikan tersendiri. Sebab, treknya penuh dengan pasir dan kerikil-kerikil. Sambil berlari-lari kecil layaknya main ski, gue bisa turun dengan cepat. Bahkan, gue lihat banyak para pendaki yang berlomba-lomba lebih dulu sampai ke bawah.

Ketika gue sampai di Arcopodo, gue baru sadar bahwa Daye dan Dony masih tertinggal jauh di belakang, sedangkan Kelik sudah jauh di depan. Karena gue malas turun sendirian (sekaligus menghindari kejadian-kejadian yang tak diinginkan)), gue memutuskan menunggu Daye dan Dony. Cukup lama gue menunggu mereka, mungkin sekitar 45 menit. Dalam hati gue bertanya, jangan-jangan mereka kenapa-kenapa. Tapi untunglah, kekhawatiran gue tadi langsung lenyap ketika batang hidung Daye dan Dony nongol. Saat itulah Daye memberi tahu bahwa kakinya Dony terserang “otot kaget”. Terpaksa deh gue dan Daye berjalan pelan mengimbangi “ritme” jalannya Dony menuju tenda di Kalimati. Sampai di Kalimati kami langsung tidur selama beberapa jam. Maklum badan terasa sangat lelah. Menjelang sore hari, kami mulai memasak, makan, dan packing. Sore itu juga, kami harus meneruskan perjalanan menuju Ranu Kumbolo untuk bermalam di sana.

Kami sampai di Ranu Kumbolo pada pukul 9 malam. Sebenarnya malam itu kami ingin istirahat di dalam Pondokan pendaki. Tapi, sayangnya, pondokan itu sudah ramai disesaki pendaki. Kami tidak kebagian tempat. Akhirnya, dengan sisa tenaga yang ada, kami mendirikan tenda di pinggir danau, memasak, dan makan malam. Besoknya, kami agak terlambat bangun. Pukul 9 pagi kami baru mulai memasak dan makan siang . Menjelang sore hari, barulah kami berangkat menuju Desa Ranu Pane. Kami tiba di Desa Ranu Pane pukul 19.00. (bersambung)

galeri foto gunung semeru nov 2004 (foto: kelik prakosa dan Doni MI)

























Gunung di Indonesia dan Puncak Tertinggi Dunia
JAWA: -*-Anjasmara (2.277 mdpl)-*- Argapura (3.088 mdpl)-*- Arjuno (3.339 mdpl) -*- Bromo (2.392 mdpl)-*- Bukit Tunggul (2.208 mdpl) -*- Ciremei (3.078 mdpl)-*- Cikuray (2.818 mdpl)-*- Galunggung (2.167 mdpl)-*- Gede (2.958 mdpl)-*- Guntur (2.249 mdpl)-*- Kembar I (3.052 mdpl)-*- Kembar II (3.126 mdpl)-*- Lawu (3.245 mdpl)-*- Semeru (3.676 mdpl)-*- Malabar (2.343 mdpl)-*- Masigit (2.078 mdpl) -*- Merapi (2.911 mdpl)-*- Merbabu (3.145 mdpl)-*- Pangrango (3.019 mdpl)-*- Papandayan (2.665 m)-*- Patuha (2.386 mdpl)-*- Penanggungan (1.653 mdpl)-*- Raung (3.332 mdpl), Salak (2.211 mdpl), Slamet (3.432 mdpl), Sumbing (3.336 mdpl)-*- Sundara (3.150 mdpl)-*- Tangkuban Perahu (2.084 mdpl)-*- Ungaran (2,050 mdpl)-*- Wayang (2.181 mdpl)-*- Welirang (3.156 mdpl)-*- Wilis (2.552 mdpl). SUMATRA:-*-Dempo (3159 mdpl)-*-Kerinci (3.805 mdpl)-*-Sibayak (2.212 mdpl)-*-Pesagi (2.262 mdpl)-*- Singgalang (2.877 mdpl)-*-Marapi (2,891.3 mdpl)-*-Tandikat (2438mdpl)-*-Leuser (3172 mdpl)-*- Perkison (2300 mdpl)-*- BALI: -*-Agung (3.142 mdpl), -*-NTB:-*-Rinjani (3.726 mdpl), NTT: Tambora (2.850 mdpl)-*- 14 PUNCAK GUNUNG TERTINGGI DUNIA: -*-Everest (8.848 mdpl)-*- K2 (8.611m)-*- Kangchenjunga (8.586) -*- Lhotse (8.516 mdpl)-*- Makalu (8.463 mdpl) -*- Dhaulagiri (8.167 mdpl) -*- Manaslu (8.091) -*- Cho Oyu (8.201 mdpl) -*- Nanga Parbat (8.125 mdpl) -*- Annapurna -*- (8.091 mdpl) -*- Gasherbrum I (8.068 mdpl) -*- BRoad Peak (8.047 mdpl) -*- Shisha Pangma (8.046 mdpl) -*- Gasherbrum II mdpl)-*-