Berziarah ke Istana Ratu Jin
Sudah saatnya orang tak menjadikan Pulau Lombok sebagai tujuan wisata nomor dua setelah Bali. Apalagi, di provinsi Nusa Tenggara Barat itu berdiri angkuh kawasan wisata bereputasi internasional: Taman Nasional Gunung Rinjani. (Teks: Tim Lion Air-TRUST, Foto-foto: Imam Wahyudi)Minggu, 7 Januari 2007, satu jam menjelang azan subuh, penduduk Desa Sembalum Lawang masih terlelap di peraduannya. Nun di kejauhan, kabut menutupi puncak Gunung Rinjani. Pos pendaftaran (pusat informasi) gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia itu juga terkunci rapat. Kami yang baru saja tiba dari perjalanan jauh (Jakarta-Mataram-Sembalun Lawang) segera mengamati keadaan sekeliling. Tiba-tiba, dengan setengah berteriak, salah seorang dari kami memanggil kami untuk segera membaca sebuah pengumuman yang ditempel di pintu pos. Isinya: mulai tanggal 3 Januari 2007 Gunug Rinjani tertutup untuk pendakian.
“Gawat,” sungut Dedi Setiawan, ketua tim Lion Air-TRUST. Maklum, sejak bertolak dari Jakarta, seluruh anggota tim yang terdiri dari enam orang ini sudah tidak sabar ingin menikmati keindahan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR).
Terletak di Pulau Lombok, gunung setinggi 3.726 m dpl (di atas permukaan laut) itu memang sangat menggoda para pencinta aktivitas di alam bebas. Tiga tahun silam, gunung yang secara administratif berada di tiga kabupaten--Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Lombok Barat--ini dianugerahi “World Legacy Award” (WLA). Penghargaan dari National Geographic Society dan Conservation International itu sekaligus menobatkan kawasan TNGR--luasnya 41.330 ha—sebagai kawasan yang terbaik untuk kategori destination stewardship.
Kompetisi WLA 2004 yang diikuti 100 negara tersebut dibagi dalam empat kategori: natural travel, heritage tourism, hotel dan resort, serta destination stewardship. Penganugerahan WLA sendiri dimaksudkan sebagai suatu kampanye global untuk mempromosikan pariwisata yang bertanggung jawab, baik terhadap kehidupan sosial, budaya, maupun lingkungan. Tujuan penganugerahan itu tentu saja guna melindungi kekayaan keanekaragaman budaya dan sumber daya alam.
Sulit disangkal, anugerah itulah yang semakin menguatkan rasa penasaran kami terhadap Gunung Rinjani. “Sudahlah, sekarang istirahat dulu,” kata Imam Wahyudi, anggota tim yang bertugas sebagai juru foto. “Nanti pagi saja kita pikirkan tentang bagaimana caranya supaya bisa diizinkan mendaki,” katanya lagi.
Singkat kata, semua anggota tim mulai merebahkan diri pada saung yang terletak di depan pos. Suhu 14 derajat celsius tak terlalu kami hiraukan, mengingat kondisi tubuh yang sangat letih.
Baru sekitar satu setengah jam kami terlelap, matahari sudah menunjukkan sinarnya. Deru mobil pengangkut sayuran dan suara masyarakat desa setempat yang berlalu lalang memaksa kami untuk segera melipat sleeping bag. Tak lama kemudian, seorang petugas pos menghampiri kami. Setelah berbasa-basi sejenak, ia lalu menjelaskan perihal pengumuman larangan pendakian tadi.
Cuaca buruk yang acap mengundang badai, tanah longsor, dan pohon tumbang dalam beberapa pekan terakhir menjadi landasan pelarangan itu. Beberapa hari sebelum kami meninggalkan Jakarta, Badan Meteorologi dan Geofisika memang sudah menyampaikan bahwa badai Isobel pada pekan itu akan melintasi Indonesia Bagian Tengah. “Beberapa hari lalu, gumpalan awan berwarna gelap sudah menggantung di atas kawasan ini,” ungkap seorang penduduk Desa Sembalun yang mendampingi si petugas pos.
Untungnya, larangan itu bukan harga mati. Dalam tiga hari terakhir, hujan tidak turun di kawasan TNGR. Cuaca selalu cerah. Itulah yang membuat petugas pos memberikan izin kepada kami untuk melakukan pendakian. Tapi itu pun dengan catatan: kami wajib menandatangani surat pernyataan yang intinya berbunyi “pihak TNGR tak bertanggung jawab apabila pendaki mengalami kecelakaan.” Tanpa ba-bi-bu, kami jawab dengan antusias: “Oke”.
Selanjutnya, kami membayar retribusi tanda masuk Rp 5.000 per orang. Tarif tadi untuk wisatawan lokal. Bagi wisatawan asing, harga retribusi tanda masuknya mencapai enam kali lipat. Sekadar informasi, setiap tahunnya, TNGR disambangi sekitar 5.000 orang wisatawan. Sekitar 2.000 orang di antaranya adalah wisatawan mancanegara.
Untuk mencapai puncak Rinjani, terdapat dua jalur utama yang biasa digunakan: jalur Sembalun Lawang (110 km dari Mataram) dan jalur Senaru (89 km dari Mataram). Sebenarnya, masih ada jalur alternatif lain seperti Sesaot, Bayan, atau Torean. Tapi jalur-jalur tadi jarang sekali ditempuh para pendaki. Hanya penduduk sekitar yang sering menggunakan jalur-jalur tadi untuk mencari kayu bakar dan kegiatan ritual keagamaan ke Gunung Rinjani. Kami memilih jalur Sembalun Lawang karena trek jalur ini tidak begitu panjang dan tidak terlalu curam.
Guna meringankan beban, kami menyewa dua orang porter. Tarif seorang porter adalah Rp 60.000 per hari. Selain mengangkut barang, porter tadi juga bisa bertugas sebagai pemandu, bahkan juru masak. Setelah sarapan dan packing, sekitar pukul 10 WITA kami meninggalkan kampung yang berketinggian 1.156 m dpl itu menuju pos 1. Trek menuju pos 1 di ketinggian 1.300 m dpl masih landai, dan di sana sini terbentang luas sabana. Sepanjang perjalanan, kami sering menjumpai penduduk setempat yang sedang menggembalakan sapi.
Meski menurut pedoman resmi waktu tempuh menuju pos 1 hanya satu setengah jam, faktanya kami baru mencapai tempat itu sekitar tiga jam kemudian. Boleh jadi, waktu satu setengah jam tadi diperuntukkan bagi pendaki yang menyerahkan seluruh bawaannya kepada porter. ”Kalau bule, satu orang didampingi dua porter,” kata Yusup, salah seorang porter yang mendampingi kami. Di pos seluas berukuran 2 x 2 meter, kami istirahat untuk makan siang.
Setelah tenaga pulih, kami pun melanjutkan perjalanan. Kabut cukup tebal menemani perjalanan kami. Menjelang magrib, kami pun tiba di Pada Balong (Pos III). Sebenarnya, target kami hari itu adalah menginap di Sembalun Plawangan II, yakni pos terakhir menjelang puncak. Sayang, kondisi fisik kami yang kurang tidur tampaknya ogah diajak kompromi. Apalagi, selain hari sudah mulai gelap, trek yang terbentang di muka pun cukup terjal. Tingkat kemiringannya sekitar 45 derajat.
Apa boleh buat, kami memutuskan untuk menginap di Pos III. Lokasi pos pada ketinggian 1.800 m dpl ini berada di bawah tebing yang cukup tinggi, di tepi sebuah sungai besar yang kering. Kendati suhu mencapai 12 derajat celsius, cuaca saat itu sangat bersahabat. Di langit, bulan yang masih tersisa setengah mengintip di antara hamparan bintang.
Senin, 7 Januari 2007, pukul 6 WITA, suara teriakan beberapa ekor monyet membangunkan kami. Pada pagi yang indah itu, tenda kami dikelilingi beberapa ekor monyet yang ingin mencuri makanan. Sedikit saja lengah, makanan yang ada di dalam tenda bisa-bisa berpindah tangan ke monyet-monyet itu. Hitung-hitung olahraga pagi, kami pun mengusir monyet-monyet itu dengan cara melemparkan batu tanpa mengenai tubuhnya.
Tepat pukul 10:00 WITA, setelah sarapan, kami melanjutkan perjalanan menuju pos selanjutnya, yaitu Pos IV (Plawangan I). Jalur menuju lokasi itu lumayan berat. Ada sekitar sembilan bukit dengan tanjakan terjal menanti untuk didaki. Para pendaki menamai bukit itu dengan sebutan "Bukit Penderitaan”. “Di kalangan pendaki, jalur yang penuh dengan tanjakan ini popular disebut “Tanjakan Penyesalan,” kata Amak Juhedi, porter kami. “Amak” adalah sebutan bagi orang yang dituakan di suku Sasak.
Kenapa dinamai tanjakan penyesalan? Menurut Juhedi, tak sedikit pendaki yang menyesal karena tidak menyiapkan fisik yang prima untuk mendaki. “Banyak pendaki yang menyerah sampai di sini,” katanya. Padahal, kalau melewati puncak tanjakan, kita dapat melihat keindahan danau Segara Anak.
Nama danau Segara Anak diberikan lantaran airnya yang membiru bagaikan anak lautan. Bila para pendaki tiba di danau tersebut, rasa lelah akan tergantikan oleh pesona danau yang luasnya 11 juta m2 dan mempunyai kedalaman 230 meter lebih itu. Di danau itu, banyak terdapat ikan mas dan mujair, sehingga banyak masyarakat dan pendaki yang memancing di sana. Tak jauh dari danau itu, terdapat air terjun Kokok Putih dan air panas yang sering dikunjungi orang untuk tujuan pengobatan.
Danau Segara Anak menyimpan berbagai misteri dan kekuatan gaib. Konon, itulah yang menyebabkan manusia merasa betah tinggal di sana. Masyarakat lokal percaya, di danau itu bermukim komunitas makhluk gaib dalam jumlah yang banyak. Mereka juga percaya, apabila danau itu terlihat luas, maka usia orang yang melihatnya masih panjang. Dan sebaliknya, bila danau itu kelihatan kecil, maka usia orang yang melihatnya bakal singkat. Di danau ini pula, saban tahun masyarakat setempat--baik yang beragama Hindu Bali maupun orang-orang dari suku Sasak yang beragama Islam—dua kali mengadakan upacara keagamaan.
Selepas beristirahat di Plawangan 1 (pos 4), kami melanjutkan perjalanan menuju Plawangan 2 (Pos 5). Sekitar 100 meter dari Pos 4, jalan setapak yang kami lalui terbagi menjadi dua jalur. Jalur yang lurus adalah jalur menuju Plawangan 2. Sedangkan jalur yang berbelok ke kanan adalah jalur menuju Danau Segara Anak. Dari Plawangan 1 ke Plawangan 2, waktu yang dibutuhkan kurang dari setengah jam.
Lembayung senja menyambut kami di Plawangan 2. Camping ground berada pada ketinggian 2.639 m dpl. Kami sengaja memasang tenda menghadap bibir jurang karena di bawahnya terhampar pemandangan yang sungguh indah: Danau Segara Anak serta Gunung Baru Jari.
Malam terlalu cepat merambat. Di langit, jutaan bintang seolah menunggu giliran untuk jatuh. Kendati pemandangan itu sangat sayang bila dilewatkan, keterbatasan waktu memaksa kami agar segera beristirahat. Setelah berembuk dengan kedua porter, tim memutuskan akan melakukan summit attack pada jam 2 dini hari. “Kalau kesiangan tiba di puncak, saya khawatir anginnya kencang sekali,” tutur Amak Juhedi.
Selasa, 9 Januari 2007, pukul 02:00 WITA, kami sudah siap tempur. Didahului sarapan ringan dan teh hangat yang dilanjutkan dengan memanjatkan doa, kami lantas berjalan beriringan menembus kabut dan suhu 4 derajat celsius menuju puncak.
Memasuki ketinggian 3.200 m dpl, udara dingin yang bertiup terasa menggigit. Toh kami terus mendaki medan berpasir. Dengan tenaga yang tersisa, akhirnya sampailah kami di sebuah punggungan yang agak datar dan gersang. Di sebelah kanan dan kiri hanya terdapat jurang yang seolah siap menelan pendaki yang tak berhati-hati. Di punggungan itu, kami beristirahat sejenak sambil mempersiapkan tenaga untuk melangkah ke tempat yang lebih tinggi. Di punggungan itu pula kami menikmati “istirahat yang indah”. Sebab, ketika memandang ke belakang, kami melihat Danau Segara Anak yang luas sekali. Uniknya, semakin kami berada di posisi yang lebih tinggi, danau itu terlihat semakin luas.
Mendekati puncak, tanjakan semakin terjal. Kemiringannya kurang lebih 45 derajat. Terpaan angin yang kian deras sempat menciutkan nyali kami. Di tanjakan ini, setiap dua atau tiga langkah ayunan, kaki pastilah akan mundur selangkah. Tapi, dengan hasrat yang demikian kuat, setapak demi setapak kami terus melangkah.
Tepat pukul 07.10 pagi, kami tiba di puncak Rinjani. Di Ujung kerucut gunung itulah, menurut kepercayaan masyarakat Lombok, bersemayam ratu jin bernama Dewi Rinjani (lihat: “Setelah Sang Raja Mengusir Sang Permaisuri). Dari puncak yang luasnya 3 x 7 meter itu, kami melihat hamparan pemandangan yang menakjubkan. Di sebelah barat, tampak Pulau Bali dengan Gunung Agung-nya yang seolah melambai. Di sebelah timur terlihat Selat Alas dan bayang-bayang Gunung Tambora yang termasyhur. Dan pemandangan yang paling jelas, tentu saja kawah Rinjani dan Danau Segara Anak. Berukuran 650 m x 860 m, kawah kering itu terletak di sebelah utara bagian bawah (sebelah kiri puncak).
Begitulah, keindahan Lombok memang tak hanya terbatas pada gili-gili (pulau-pulau kecil) dan pantai-pantainya yang begitu menggiurkan bagi para pelancar. Ditambah dengan keberhasilan Gunung Rinjani menyabet penghargaan internasional, memang tak salah jika pulau di provinsi Nusa Tenggara Barat ini dijuluki sebagai saudara kembar Pulau Dewata.
Boks: Setelah Sang Raja Mengusir Sang Permaisuri
Masyarakat Lombok meyakini Puncak Gunung Rinjani adalah tempat bersemayamnya ratu jin: penguasa gunung Rinjani yang bernama Dewi Rinjani. Di sebelah tenggara puncak terdapat sebuah kaldera lautan debu yang dinamakan Segara Muncar. Percaya atau tidak, menurut penduduk lokal, pada saat-saat tertentu, dengan kasatmata, mereka bisa melihat istana Ratu Jin. Tapi, Anda tak perlu takut, apalagi sampai mengurungkan niat mendaki Gunung Rinjani. Sebab, makhluk halus di sana dipercaya sebagai “jin dari kalangan baik-baik”.
Alkisah, pada zaman dahulu, tidak jauh dari pelabuhan Lembar, berdirilah sebuah Kerajaan Tuan yang diperintah oleh seorang Raja yang sangat bijaksana. Namanya Datu Tuan. Ia memiliki permaisuri yang sangat cantik, Dewi Mas.
Di bawah pemerintahan Raja Datu Tuan, kerajaan berada dalam keadaan aman, damai, dan tenteram. Tahun demi tahun pun berlalu. Kendati usia pasangan itu bertambah tua, mereka belum dikarunia seorang putra. Hal itu membuat sang Raja sering kelihatan murung. Ia sangat mengkhawatirkan masa depan kerajaannya.
Hingga pada suatu hari, sang Raja meminta izin kepada sang permaisuri untuk menikah lagi. “Mudah-mudahan dengan demikian kita akan dikaruniai anak yang akan menggantikan pemerintahan kelak," demikian sabdanya. Sang Permaisuri menyetujui. Baginda Datu Tuan lantas meminang seorang gadis cantik yang bernama Sunggar Tutul, putri dari Patih Aur.
Semenjak saat itu, perhatian Raja terhadap Dewi Mas berkurang. Datu Tuan lebih sering tinggal di istana istri mudanya. Raja yang terkenal adil itu telah bertindak tidak adil terhadap permaisurinya. Meskipun demikian, Dewi Mas selalu sabar. Seiring berjalannya waktu, Dewi Mas pun mengandung.
Berita tentang Dewi Mas mengandung itu tentu saja mengejutkan Sunggar Tutul. Ia khawatir, Raja akan berpaling dari dirinya dan kembali ke Dewi Mas. Sanggar Tutul pun memfitnah Dewi Mas. Kepada sang Raja, ia menyatakan bahwa kehamilan Dewi Mas diakibatkan oleh perbuatan serong dengan seseorang yang bernama Lok Deos.
Murkalah Baginda Datu Tuan. Dewi Mas lalu diusir dari istana dan dibuang ke sebuah gili. Dengan ditemani para pengiringnya, Dewi Mas tinggal di gili. Mereka membangun suatu permukiman. Dewi Mas tetap tegar dalam menempuh kehidupan menuju hari depan.
Pada suatu ketika, lewatlah sebuah kapal mendekati gili tersebut. Seperti ada suatu kekuatan gaib, sang Nakhoda kapal tersebut mengarahkan kapalnya ke gili. Dan dari kejauhan, dia melihat seorang wanita cantik yang bersinar. Nakhoda dan para awak kapal tadi kemudian berlabuh dan mampir ke pondok Dewi Mas.
Setelah dijamu, para penumpang kapal tersebut menanyakan kenapa Dewi Mas bisa tinggal di tempat tersebut, karena sepengetahuan mereka, selama ini gili itu tidak berpenghuni. Dewi Mas pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya. Setelah itu, Dewi Mas meminta nakhoda dan awak kapal tadi mengantarkannya ke pulau Bali. Akhirnya, Dewi Mas beserta para pengiringnya tinggal di Bali dan membangun permukiman baru.
Hari kelahiran pun tiba. Dewi Mas melahirkan dua anak kembar yang masing-masing disertai dengan keajaiban. Seorang bayi laki-laki lahir beserta sebilah keris, sedangkan bayi yang satunya lagi--berjenis kelamin perempuan—lahir beserta anak panah. Bayi yang laki-laki itu diberi nama Raden Nuna Putra Janjak, sedangkan bayi perempuan dinamakan Dewi Rinjani.
Kedua bayi itu tumbuh besar menjadi anak-anak yang lucu dan menarik. Tapi, pada suatu hari, kedua anak itu menanyakan siapakah ayah mereka, karena selama ini mereka sering diejek teman-temannya lantaran tidak punya ayah.
Karena desakan kedua anaknya, maka Dewi Mas pun membuka rahasia yang selama ini dipendamnya. Lalu meluncurlah cerita tentang ayah mereka yang sebenarnya adalah seorang Raja di Lombok bernama Datu Tuan. Tak lupa, ia pun menyampaikan bahwa dirinya dibuang ke sebuah gili karena difitnah oleh Sunggar Tutul, istri kedua Datu Tuan.
Raden Nuna Putra Janjak menjadi sangat marah. Dia memohon diri kepada ibunya agar diizinkan pergi ke Lombok untuk menemui sang ayah. Karena terus didesak, akhirnya Dewi Mas pun mengizinkan putranya berlayar ke Lombok bersama para pengiring.
Sesampainya di Lombok, Raden Nuna Putra Janjak segera masuk ke istana, tapi dihadang oleh para penjaga. Pertarungan tak terelakkan. Meskipun masih kecil, Raden Nuna Putra Janjak--dengan keris di tangan yang muncul bersamaan ketika ia lahir--sangatlah sakti dan tak tertandingi. Banyak lawan yang dibuatnya tak berdaya sehingga Baginda Datu Tuan harus turun sendiri menghadapi Raden Nuna Putra Janjak. Lewat pertarungan seru, mereka saling menghunjamkan kerisnya. Mereka berdua sama kuat, keris masing-masing tidak dapat saling melukai. Tiba-tiba terdengarlah suara gaib dari angkasa: “Hai Datu Tuan, jangan kau aniaya anak itu. Anak itu adalah anak kandungmu sendiri dari istrimu, Dewi Mas".
Setelah mendengar suara itu, Datu Tuan amat menyesal. Maka dipeluknya Raden Nuna Putra Janjak. Setelah mendengar cerita dari Raden Nuna Putra Janjak, maka Baginda Datu Tuan segera menjemput permaisuri ke Bali. Seluruh penghuni istana dan penduduk Kerajaan Tuan bersuka cita. Dewi Mas tidak menaruh dendam sama sekali kepada Sunggar Tutul. Mereka semua hidup damai dan tenteram.
Raden Nuna Putra Janjak tumbuh dewasa menjadi seorang pemuda yang sangat tampan dan bijaksana. Baginda Datu Tuan sudah semakin tua dan akhirnya menyerahkan takhta kerajaan kepada putranya tadi.
Sesudah putranya naik takhta, Baginda Datu Tuan kemudian menyepi di gunung diiringi oleh putrinya yang bernama Dewi Rinjani. Di puncak gunung itulah baginda dan putrinya bersemedi memuja Yang Maha Kuasa.
Di puncak gunung itu, Dewi Rinjani diangkat oleh para jin dan makhluk halus menjadi ratu. Dan sejak saat itulah gunung yang tinggi di pulau Lombok ini dinamakan Gunung Rinjani.